Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2021

Pihak Ketiga (2)

Walaupun pihak penggugat mempunyai hak untuk menarik siapapun sebagai pihak tergugat, namun apabila tidak melibatkan pihak sebagai tergugat ataupun tidak melengkapi pihak penggugat, maka mempunyai konsekwensi hukum.  “Gugatan yang petitumnya mohon agar Hakim memerintahkan kepada Tergugat untuk mengosongkan tanah tambak berdasar atas tidak sahnya penjualan tambak itu kepada sipembeli (Tergugat), harus dinyatakan “tidak dapat diterima”, dengan pertimbangan bahwa dalam gugatan pihak penjual tanah tambak tidak ditarik sebagai “Turut Tergugat”.  Gugatan A terhadap B agar jual beli antara B dan C dibatalkan tidak dapat diterima, karena C tidak ikut digugat (Mahkamah Agung No.45 K/Sip/1954).  “Gugatan terhadap pihak ketiga yang menguasai harta warisan untuk dikembalikan kepadanya dan selanjutnya dilakukan pembagian warisan kepada semua ahli waris, termasuk pihak ketiga yang juga ahli waris, gugatan tersebut diperkenankan diajukan oleh sebagian saja dari seluruh ahli waris yang ada; tidak h

Pihak Ketiga

Didalam perkara Perdata terutama hukum acara Perdata didalam praktek, maka hak penggugat untuk menarik pihak sebagai tergugat benar-benar diletakkan dimuka hukum.  Namun terhadap pihak yang kemudian tidak ditarik menjadi tergugat maka kemudian dikenal sebagai pihak ketiga.  Terhadap pihak ketiga yang mempunyai kepentingan langsung dari perkara yang Tengah disidangkan menyebabkan konsekwensi hukum terhadap gugatan perkaranya.  Didalam praktek hukum acara Perdata maka dikenal berbagai yurisprudensi. Lihatlah bagaimana yurisprudensi menempatkan hak penggugat untuk menarik pihak ketiga seperti “Penarikan Judex Facti terhadap pihak ketiga sebagai tergugat adalah bertentangan dengan asas hukum Acara Perdata, yang menentukan bahwa hanya “Pihak Penggugat” saja yang paling berhak untuk menentukan siapa-siapa orangnya yang akan ditarik sebagai Tergugat dalam Surat Gugatannya dan hakim tidak berwenang tentang hal ini (Putusan Mahkamah Agung No.305 K/Sip/1971) Begitu juga didalam putusan Mahka

Keliru (2)

Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya, walaupun pihak penggugat berhak menarik siapapun sebagai tergugat, namun terhadap penarikan pihak sebagai tergugat yang tidak mempunyai kapasitas sebagai tergugat, maka gugatan tidak dapat diterima.  Untuk melihat bagaimana pandangan hakim didalam melihat kapasitas sebagai tergugat, maka dapat dilihar berbagai putusan Mahkamah Agung.  Suatu kekeliruan dalam menyebutkan para pihak yang berperkara tidak berakibat batalnya suatu putusan hakim (Putusan Mahkamah Agung No. 247 K/Sip/1953 tanggal 6 April 1955).  Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian jaul beli yang dituangkan dalam akte notaries yang terjadi karena adanya kekeliruan dapat dibatalkan (Putusan Mahkamah Agung No. 3247 K/Pdt/1987).  Surat gugatan yang berisikan eksekusinya telah selesai dilaksanakan dan menurut majelis MA-RI, pihak Pelawan tidak berhak lagi mengajukan gugat perlawanan (verzet) terhadap perkara pedata yang putusannya telah selesai dilaksanakan eksekus

Keliru 

Didalam hukum acara Perdata, walaupun penggugat mempunyai hak untuk menarik tergugat didalam perkara, namun seringkali pihak penggugat keliru menempatkan para tergugat.  Dalam praktek hukum acara Perdata, Keliru menempatkan pihak tergugat akan menyebabkan perkara dinyatakan tidak dapat diterima.  Salah satu contoh menempatkan tergugat yang berkaitan hubungan hirarkis. Biasanya ditandai dengan tanda “C.Q”.  Kata-kata “Cq” akan dilihat bagaimana mekanisme dan rangkaian dari konstruksi hukum yang dibangun.  Menurut Kamus Bahasa Indonesia didalam lampiran IV Tentang Daftar Singkatan dan Akronim, Cq merupakan singkatan dari casu aquo. Frasa yang berasal dari Bahasa Latin diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi beberapa arti. Seperti “ dalam hal ini ”. “ Lebih spesifik lagi”. K ata Cq digunakan hubungan yang bersifat hirarkis. Sehingga penggugat harus menguraikan dulu rangkaian hirakris  Keliru menguraikan hubungan yang bersifat hirarkis sama sekali tidak dapat dibenarkan secar

Pelaku Anak

Membaca berita anak-anak sekolah yang kemudian mendatangi DPRD Kota Jambi menimbulkan berbagai polemik. Sebagian mengecam. Sebagian kemudian melihat dari sudut pandang yang berbeda.  Melihat anak-anak sekolah berbaju putih-biru muda membuktikan yang datang adalah anak-anak sekolah tingkat Atas. Atau anak-anak masih dibawah umur.  Kebetulan UU masih mengamanatkan yang disebut dewasa adalah orang yang berumur 18 tahun. Sehingga dipastikan berdasarkan UU Perlindungan Anak dapat dikategorikan sebagai “anak dibawah umur”.  Begitu juga UU Pengadilan Anak. Masih menempatkan “dibawah 18 tahun” belum dewasa. Kategori “belum dewasa” menempatkan mereka tidak boleh diperlakukan sebagaimana “orang dewasa’. Entah proses hukum yang harus cepat, didampingi orang tua ataupun Penasehat Hukum. Bahkan didalam persidangan, Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum tidak dibenarkan memakai toga. Pakaian resmi didalam persidangan pidana.  Kategori “belum dewasa” juga menyebabkan “belum panta

Unsur Hukum Pidana

Salah Satu tema yang paling menarik perhatian dalam praktek hukum pidana adalah unsur didalam Uraian pasal-pasal Hukum Pidana.  Unsur hukum pidana terdiri dari unsur obyektif dan unsur subyektif.  Sebagai contoh, dalam hukum pidana tindak pidana Korupsi “unsur obyektif” terdiri (a) Pembuatnya: Pegawai Negeri, Penyelenggara Negara, (b) Perbuatannya : Menerima ( hadiah ), Menerima ( janji ) dan (c) Objeknya : Hadiah atau Janji.  Sedangkan Unsur Subjektif  dilihat dari “kesalahan”. Sehingga KESALAHAN dapata diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.  Begitu juga didalam Pasal 372 KUHP dikenal sebagai pasal tindak pidana penggelapan (verduistering). Dengan unsur-unsur subyektif dan unsur obyektif.  Unsur subyektif adalah “dengan sengaja”. Sedangkan unsur obyektif adalah “barang siapa”, “menguasai secara melawan hukum”, “suatu benda”, “Seb

Unsur “barang siapa (naturalijk personalijk)

Dalam berbagai perundang-undangan, strafbaar feit” dirumuskan unsur “barang siapa” (KUHP) atau “setiap orang (peraturan perundang-undangan diluar KUHP).  Unsure “strafbaarfeit” ialah orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi unsure tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa.   Unsure “strafbaarfeit” tidak dapat ditujukan kepada diri terdakwa karena menentukan unsure ini tidak cukup dengan menghubungkan terdakwa sebagai perseorangan sebagaimana manusia pribadi (naturaal personalijk) atau subyek hukum yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara ini.  Akan tetapi yang dimaksud setiap orang dalam undang-undang adalah orang yang perbuatannya secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi semua unsure dari tindak pidana.  Jadi untuk membuktikan unsure “barang siapa/setiap orang (straafbaarfeit)” harus dibuktikan dulu unsure lainnya.  Atau dengan kata lain unsur “strafbaarfeit” tidak serta merta langsung menunjuk kepada perseorangan (naturalijk persoon). Selain itu didalam

Kekuatan SHM

Beberapa waktu yang lalu, Polda Jambi menangkap seorang eks Pegawai BPN. Tuduhannya cukup serius. Sebagai  dugaan penipuan dokumen tanah. Media massa kemudian menyebutkan sebagai mafia Tanah di Jambi.  Secara rinci Polda Jambi kemudian menjelaskan bagaimana upaya dari tersangka melakukan perbuatannya. Dimulai dari memalsukan surat Tanah seluas 960 m2. Saat itu tersangka masih menjabat BPN Jambi.  Tanah kemudian diklaim milik tersangka kemudian dijual kepada orang lain senilai Rp 450 juta.  Setelah dilakukan jual beli, ternyata pembeli kemudian kaget. Ternyata ada yang mengklaim Tanah dengan menunjukkan surat Tanah. Sehingga pemilik Tanah dari hasil jual beli kemudian membuat laporan ke polisi.  Tentu saja masih banyak misteri hingga kita tunggu persidangan. Apakah memang tersangka benar-benar melakukan pemalsuan dokumen (mafia Tanah). Atau tersangka mampu menunjukkan sebagai penjual yang sah.  Namun sementara, mari kita tunggu hingga persidangan.  Tema kali ini justru melihat bag

Penggugat

Dalam hukum acara Perdata, pihak yang mengajukan perkara ke muka persidangan dikenal dengan istilah penggugat. Sedangkan pihak yang digugat kemudian dikenal sebagai tergugat.  Ketika perkara dimajukan ke muka persidanga, maka penggugat dapat disempurnakan gugatannya baik untuk penyempurnaan maupun alasan hukumnya. Wewenang hakim wajib memberikan alasan hukum agar gugatan menjadi sempurna diatur didalam gugatan agar perkara dapat diterima oleh Pengadilan.  Ketentuan ini diatur didalam Pertimbangan Mahkamah Agung No.1043.K/Sip/1971.  Penggugat harus menjelaskan standing hukum dan kualitas hukum sebagai penggugat. Apabila tidak dijelaskan didalam gugatannya, maka gugatan harus dinyatakan tidak mempunyai kedudukan hukum (legitima persona in standi judico (pasal 338,  Pasal 446 dan Pasal 452 BW jo pasal 8 (2) Rv). Sebagai pengggugat, penggugat berhak untuk menentukan siapa saja yang harus digugat (Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No.305 K/Sip/1971 dan  Pertimbangan Mahkamah Agung No.3

Unsur “Sengaja” didalam Pasal Hukum Pidana (1)

Gambar
Unsur “sengaja” adalah unsur Penting didalam Melihat tindak pidana yang dilakukan. Unsur ini justru menjadi faktor pemberat terhadap penghukuman (strafmaacht) kepada pelaku.  Misalnya “unsur” dengan sengaja  dalam tindak pidana pembunuhan (tindak pidana tubuh), unsur “sengaja” menyebabkan ancaman hukuman menjadi maksimal. Pasal 340 KUHP dengan tegas menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana seumur atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dengan adanya unsur “sengaja” sehingga hukuman tidak hanya waktu-waktu tertentu, tapi justru hukuman maksimal seperti hukuman mati atau hukum seumur Hidup dan 20 tahun penjara.  Hukuman mati atau hukuman  seumur Hidup atau 20 tahun penjara adalah hukuman maksimal didalam praktek hukum pidana.  Sehingga unsur “sengaja” adalah unsur Penting Melihat dampak perbuatan yang dilakukan. from istilahhukum

Unsur “Barang siapa” didalam Pasal Hukum Pidana (2)

Tidak dapat dipungkiri, sebelum menentukan pasal-pasal yang dapat diterapkan didalam praktek hukum pidana, setiap kata-kata, atau kalimat didalam pasal KUHP mempunyai konsekwensi hukum. Setiap perbedaan makna ataupun maksud didalam pasal KUHP kemudian dikenal sebagai unsur.  Unsur-unsur didalam pasal KUHP kemudian dianalisis, dibahas. Termasuk juga dipertimbangkan untuk Melihat kasus yang menimpa (in concreto).  Misalnya Pasal yang mencantumkan kata seperti “Barang siapa” .. “dengan sengaja” .. “melakukan perbuatan”… “mencuri”… “dapat dihukum..”… Apabila ditelaah lebih jauh, maka kata “barang siapa” belum dapat langsung menunjuk kepada orang perseoangan (atau badan hukum).  Tapi unsur “barang siapa” belum bisa dibuktikan apabila “unsur tindak pidana lain harus harus dibuktikan terlebih dahulu.  Asas ini kemudian dikenal dalam praktek “kesalahan” dan “pertanggungjawaban”.  Dimensi “kesalahan” dan “pertanggungjawaban” adalah dimensi yang terpisah.  Sehingga untuk menentukan perta