Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2021

Sifat Putusan

Didalam praktek Peradilan, dikenal sifat putusan deklarator, putusan konstitutif dan putusan kondemnator.  Putusan deklarator adalah putusan yang berisikan pernyataan atau penegasan suatu keadaan atau kedudukan hukum.  Dalam praktek sering dikenal dalam perkara seperti adopsi (pengangkatan anak). Sehingga putusan pengadilan kemudian menyatakan si A anak si B.  Atau didalam putusan dapat dinyatakan seperti “Menyatakan sah dan berkekuatan hukum akta pengakuan hutang”.  Putusan konstitutif adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum. Baik yang meniadakan maupun menimbulkan keadaan hukum yang baru.  Biasanya sering ditemukan didalam putusan yang memuat kata “menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi (ingkar janji).  Sedangkan putusan kondemnator ditandai dengan “menghukum salah satu pihak yang berperkara”. Yang ditandai dengan kata-kata didalam amar putusan “menghukum tergugat membayar kerugian materiil yang diderita penggugat”.  Putusan Konstitutif dan putusan Kondemna

Harta Gono Gini (2)

Namun tidak dapat dipungkiri, hukum adat yang masih berlaku ditengah masyarakat juga menjadi pertimbangan MA didalam menilai mengenai harta gono gini (harta bersama).  Menurut Mahkamah Agung didalam putusannya No. 2662 K/Pdt/1984, Pada masyarakat adat Sasak di Lombok Timur telah diakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.  Sedangkan didalam Putusannya, Mahkamah Agung No. 741 K/Pdt/1985 menyebutkan “Menurut hukum adat, istri kedua tidak memperoleh hak atas harta gono gini antara suaminya dengan istri pertama, karena harta gono gini tersebut merupakan hak dari istri pertama dengan anak-anaknya”.  Sedangkan penghormatan terhadap anak angkat didalam Hukum adat dapat dilihat didalam putusan Mahkamah Agung No. 3832 K/Pdt/1985 yang menyebutkan “Anak angkat di Jawa Tengah yang telah dipelihara sejak kecil hingga dewasa berhak mewarisi harta gono gini dari kedua orang tua angkat yang telah merawatnya. 

Harta Gono Gini

Harga gono gini adalah istilah yang digunakan dalam praktek sehari-hari ditengah masyarakat yang merujuk kepada harta bersama.  Yang dimaksudkan harta bersama adalah harta yang didapatkan selama masa perkawinan.  Mahkamah Agung menempatkan harta gono gini (harta bersama) sebagai penghormatan terhadap hak terhadap harta yang didapatkan selama masa perkawinan.  Dalam praktek begitu banyak Mahkamah Agung memberikan pertimbangan didalam menilai harta  gono gini (harta bersama).  Begitu pentingnya  harta gono gini (harta bersama) dapat dilihat didalam Mahkamah Agung No.10 K/AG/1981 yang menegaskan “Hal-hal mengenai pembagian barang gono gini termasuk wewenang Pengadilan Negeri.  Atau putusan Mahkamah Agung No.231 K/Sip/1956 yang menegaskan “Dalam hal sawah-sawah gono gini dipegang secara tidak sah oleh seorang ketiga, sawah-sawah itu dapat dituntut kembali oleh seorang dari suami atau istri.  Atau didalam putusan Mahkamah Agung No.561 K/Sip/1968 yang menyebutkan “Harta warisan yang b

Barang bukti

Didalam Lapangan hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara Perdata, banyak sekali yurisprudensi yang mengatur tentang barang bukti.  Sebagai contoh gugatan terhadap barang bukti atas dasar kepemilikan. Sebagaimana didalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No.3602 K/Pdt/1998 dijelaskan “Upaya hukum yang dapat ditempuh pihak ketiga atas barang bukti yang dirampas untuk negara melalui putusan pengadilan adalah gugatan dan bukan Bantahan sesuai pasal 16 (3) UU Darurat No. 7 Tahun 1955 jo Pasal 35 (3) UU No. 3 Tahun 1971 jo Pasal 195 (3) HIR.  Sedangkan Gugatan terhadap negara yang merampas barang bukti dijelaskan didalam putusan Mahkamah Agung No.3404 K/Pdt/1999 yang menerangkan “Pihak Ketiga yang beritikad baik yang berkeberatan atas Putusan Hakim Pidana yang merampas untuk negara barang bukti berupa tanah yang menurutnya adalah miliknya dan bukan milik terdakwa dalam kasus korupsi, maka “pihak ketiga” ini dapat mengajukan gugatan, bukan dalam bentuk Bantahan atau perlawa

Inkrach

Dalam praktek hukum acara, dikenal istilah inkracht van gewijsde. Istilah ini menunjukkan putusan hakim yang Sudah bersifat final. Ada juga yang menyebutkan sebagai putusan akhir.  Sebagai putusan hakim yang sudah bersifat final/ akhir maka dapat diartikan putusan hakim yang Sudah melalui proses yang panjang. Baik telah menempuh upaya perlawanan melalui mekanisme banding dan kasasi.  Baik dari ranah hukum acara pidana maupun hukum acara Perdata.  Walaupun masih dimungkinkan para pihak dapat menempuh upaya hukum luarbiasa yang sering dikenal dengan istilah “perlawanan kembali (PK), namun terhadap putusan pidana maupun perdata haruslah dilaksanakan terlebih dahulu.  Sehingga dikenal istilah upaya perlawanan kembali (PK) tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi.  Sebagai putusan hakim yang sudah bersifat final/ akhir, maka putusan haruslah dilaksanakan. Sehingga selain memberikan kepastian hukum kepada para pihak juga membuat hukum Tetap dihormati.  Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi,

Para pihak (4)

Melanjutkan tema mengenai para pihak maka didalam yurisprudensi, para pihak menentukan pandangan hakim didalam mengambil keputusan.  Menurut putusan Mahkamah Agung No. 1456 K/Sip/1967 dijelaskan apabila para pihak sama dan Obyek didalam gugatannya adalah sama maka dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem.  Putusan ini kemudian dikuatkan didalam Putusan Mahkamah Agung No.588 K/Sip/1973 yang meyebutkan “Karena perkara ini sama dengan perkara yang terdahulu, baik dalil gugatannya maupun objek perkara dan penggugat-penggugatnya, yang telah mendapat keputusan Mahkamah Agung tanggal 19 Desember 1970 No. 350 K/Sip/1970, seharusnya gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, bukannya ditolak. Namun apabila sebaliknya seperti para pihak berbeda walaupun sudah diputuskan dalam perkara terdahulu, maka tidak dapat disebutkan sebagai ne bis in idem (Putusan Mahkamah Agung No.102 K/Sip/1972). Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung No.1121 K/Sip/1973.  Namun apabila perkara dinyatakan

Para Pihak (3)

Berbeda di Pengadilan negeri, Pengadilan Tata usaha Negara dan Pengadilan Agama yang mengenal Penggugat dan tergugat, di Mahkamah Konstitusi dikenal pemohon dan termohon. Selain pemohon dan termohon juga dikenal pihak terkait.  Menurut para Ahli, disebutkan sebagai pemohon disebabkan para pihak yang mengajukan permohonan di MK yang biasa kemudian dikenal sebagai mekanisme “constitutional control” .  Sehingga sebagai “constitusional control” maka permohonan disampaikan oleh pihak pemohon disebabkan adanya legal standing untuk membela kepentingannya yang dirugikan berlakunya suatu undang-undang.  Diluar pihak pemohon yang kemudian dikenal sebagai pihak terkait adalah pihak hak untuk menanggapi atau menjawab permohonan yang disampaikan oleh pemohon.  Baik karena kepentingannya langsung dari putusan MK maupun kepentingannya sendiri terhadap berlakunya putusan MK.  Para pihak terkait diberikan kesempatan untuk menjadi pihak terkait. Sehingga atas permohonan pihak terkait maka MK kemud