Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2021

Para Pihak (2)

Setelah sebelumnya dilapangan praktek hukum acara Perdata, hukum acara PTUN dan Pengadilan Agama, maka para pihak di Lapangan hukum acara pidana justru berbeda.  Didalam persidangan, maka dikenal Jaksa Penuntut umum dan pihak terdakwa.  Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewenangan untuk membawa terdakwa, membuat dakwaan,  membuktikan dakwaannya dan membuat tuntutan terhadap terdakwa.  Jaksa penuntut umum juga kemudian melaksanakan putusan hakim (eksekusi).  Sedangkan dipihak lain adalah terdakwa. Yang didakwakan oleh Jaksa penuntut umum mempertanggungjawabkan perbuatannya.  Hukum di Indonesia memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak. Sehingga hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum menjalankan tugasnya.  Dan hakim juga memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyangkal terhadap dakwaan terhadapnya.  Berdasarkan kepada surat dakwaan, fakta-fakta persidangan, pembuktian alat bukti dan tanggapan dari terdakwa, hakim kemudian dapat memutuskan perkara

Para Pihak

Didalam hukum acara Perdata dikenal para pihak. Pihak yang mengajukan gugatan kemudian dikenal sebagai pihak penggugat. Sedangkan yang digugat kemudian dikenal sebagai pihak tergugat. Begitu juga di lapangan hukum Tata usaha negara dan Pengadilan agama.  Mengapa PTUN dan Pengadilan Agama juga mengenal istilah penggugat dan tergugat ? Sebelum lahirnya Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata usaha negara, mekanisme gugatan masih merujuk kepada Pengadilan umum. Dalam hal ini kemudian dikenal sebagai Pengadilan Negeri.  Nah. Sejak lahir UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian melahirkan Pengadilan Tata usaha negara dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, maka terhadap perkara yang berkaitan dengan Putusan Pejabat negara kemudian disidangkan di Pengadilan Tata usaha negara. Yang terpisah dari Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri).  Begitu juga dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 maka perkara-perkara yang berkaitan dengan cerai, waris yang pemeluknya adalah beragama Islam maka kemudian dis

Pihak ketiga

Gambar
  Walaupun sebelumnya dibahas tentang pihak ketiga, namun kali ini, tema yang dibahas khusus mengenai kategori sebagai pihak ketiga.  Didalam praktek, yang disebutkan sebagai pihak ketiga adalah yang tidak dilibatkan pihak sebagai pihak yang berperkara oleh penggugat.  Putusan Mahkamah Agung No.305 K/Sip/1971, “ Penarikan Judex Facti terhadap pihak ketiga sebagai tergugat adalah bertentangan dengan asas hukum Acara Perdata, yang menentukan bahwa hanya “Pihak Penggugat” saja yang paling berhak untuk menentukan siapa-siapa orangnya yang akan ditarik sebagai Tergugat dalam Surat Gugatannya dan hakim tidak berwenang tentang hal ini.  Dengan demikian maka hanya pihak penggugat yang berhak untuk menarik siapapun untuk menarik didalam perkara. Baik menempatkan sebagai penggugat maupun tergugat. Hak ini tidak boleh diabaikan oleh Hakim. Atau dengna kata lain hakim tidak berwenang untuk menentukan siapapun pihak didalam perkara.  Menurut putusan Mahkamah Agung No.1990 K/Pdt/2000 menyebutk

Gugatan Barang Bukti  (2) 

Musri Nauli  Melanjutkan tema mengenai gugatan barang bukti, maka pada edisi kali ini juga memuat bagaimana gugatan terhadap barang bukti.  “Pihak Ketiga yang beritikad baik yang berkeberatan atas Putusan Hakim Pidana yang merampas untuk negara barang bukti berupa tanah yang menurutnya adalah miliknya dan bukan milik terdakwa dalam kasus korupsi, maka “pihak ketiga” ini dapat mengajukan gugatan, bukan dalam bentuk Bantahan atau perlawanan (derden verzet), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pengumuman Putusan Hakim Pidana tersebut (vide pasal 35 ayat (1) (2) (3) UU No. 3 Tahun 1971” (Putusan Mahkamah Agung No.3404 K/Pdt/1999).  Dengan demikian maka berpedoman kepada Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Bidang Perdata Peradilan Umum, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung Republik Indonesia, tahun 2008  maka Perlawanan terhadap eksekusi oleh pihak ketiga tidak hanya dilakukan atas dasar hak milik, akan tetapi juga dilakukan atas dasar hak-hak lainnya seperti hak pakai

Gugatan Barang Bukti 

Pada prinsipnya, gugatan yang diajukan oleh penggugat terhadap gugatan hanya dapat diterapkan kepada perkara yang Tengah disidangkan.  Namun apabila terhadap perkara yang kemudian disidangkan atau perkara yang diputuskan oleh Pengadilan maka menimbulkan akibat kepada pihak lain (yang biasa dikenal sebagai pihak ketiga), maka pihak ketiga dapat mengajukan keberatan.  Didalam proses persidangan, masuknya pihak ketiga dapat dilakukan apabila ternyata akibat putusan yang hendak dijatuhkan akan merugikan pihak ketiga.  Didalam putusan Mahkamah Agung No.2161 K/Pdt/1995 diterangkan “Hibah dapat dibatalkan bila terbukti merugikan hak ahli waris lainnya.  Atau putusan Mahkamah Agung No.2236 K/Pdt/1997 menerangkan “Upaya hukum terhadap pembatalan wasiat adalah dalam bentuk gugatan dan bukan dalam bentuk perlawanan (verzet)” Putusan Mahkamah Agung No.332 K/AG/2000 menerangkan “Apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, maka hibah

Perlawanan 

Pihak yang kemudian ditarik menjadi pihak oleh penggugat dapat mengajukan perlawanan. Terhadap gugatan maka perlawanan gugatan kemudian dikenal sebagai eksepsi (tangkisan).  Materi perlawanan dapat berupa formal maupun materiil. Berupa formal, pihak lawan dapat saja menyebutkan pihak penggugat tidak mempunyai kapasitas sebagai penggugat. Dengan memaparkan fakta-fakta hukum.  Termasuk juga dia dapat menerangkan, pihak penggugat keliru menempatkan sebagai tergugat.  Pihak tergugat dapat juga menyatakan adanya pihak tergugat lain yang harus juga ditarik menjadi tergugat. Kelemahan dari penggugat yang tidak menarik pihak lawan maka menyebabkan perkara menjadi kabur. Sehingga putusan harus memuat dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.  Selain itu, diluar daripada kepentingan hukum penggugat dan tergugat yang menjadi para pihak didalam perkara, maka pihak lain dapat mengajukan diri untuk mengajukan sebagai pihak.  Dalam praktek biasa dikenal sebagai pihak ketiga (bantahan).  Seda

Asas-asas Pemerintahan (6)

Setelah pada pembahasan sebelumnya membicarakan asas-asas Pemerintahan yang baik berdasarkan asas Kecermatan maka pada saat ini akan membahas tentang asas Pemerintahan yang baik berdasarkan kepada Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum.  Didalam Putusan MA RI No. 99/PK/2010, makna dari “Kepentingan umum” didasarkan kepada “memberikan dampak negatif dan jelas–jelas merugikan kepentingan masyarakat banyak”.  Pertimbangan kepada  asas Pemerintahan yang baik berdasarkan kepada Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum harus memastikan tidak merugikan kepada kepentingan umum. Sekaligus terhadap pelayanan Pemerintah tidak terganggu.  Keputusan Pejabat Tata usaha negara yang mengabaikan kepentingan masyarakat banyak atau kepentingan umum yang semata-mata didasarkan kepada proses pembuatannya atau Keputusan Tata usaha negara ternyata menimbulkan dampak yang besar ditengah masyarakat. Baik akan menimbulkan terganggunya pelayanan kepentingan umum maupun pelayanan Pemerintah ditengah masyarakat.