Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2021

Praperadilan

Menurut Pasal 1 angka (10)  KUHAP “ Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ” Pada hakekatnya pengaturan tentang praperadilan diatur didalam pasal 77 KUHAP “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang  :a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan; atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara  pidananya dihentikan pada tingkat penyidik

Perkara tidak dapat diterima di MK

Gambar
Istilah tidak dapat diterima yang kemudian dengan istilah NO (niet Ontvantkelijk Verklaard) juga dikenaldidalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.  Istilah NO disebabkan selain permohon yang diajukan sudah diputuskan oleh MK, standing hukum dari pemohon yang tidak beralasan atau tidak mempunyai hak ataupun permohonan yang diajukan tidak jelas dasar hukumnya.  Dalam sengketa Pemilu dan Pilkada juga mengenal NO. Selain juga yang mengajukan diri sebagai pemohon harus dapat membuktikan legal standingnya sekaligus membuktikan kepentingan hukum, waktu didalam mengajukan juga menjadi dasar penilaian hakim di MK untuk memutuskan perkara yang diajukan ternyata sudah melewati waktu.  Sebagai contoh apabila terhadap sebuah UU yang kemudian dinyatakan sudah diputuskan oleh MK dengan menggunakan dasar hukum didalam UUD 1945 sebagai batu uji kemudian dimohon untuk digugat lagi, maka MK harus memutuskan yang didalam amarnya tegas menyatakan, perkara yang diajukan tidak dapat diterima atau NO (n

Final dan Mengikat

Akhir-akhir ini, berbagai pengujian UU terhadap UUD 1945 yang kemudian dikenal sebagai hak uji material (judicial review) dilakukan di MK.  Salah satu kekuatan dari MK adalah keputusan yang final dan mengikat. Salah satu kekuatan dari pengujian UU terhadap UUD 1945.  Dalam berbagai Literatur disebutkan, yang dimaksudkan dengan sifat putusan yang final dan mengikat (final and binding) dalam suatu putusan dapat dilihat didalam Pasal 10 ayat (1) UU MK.  Disebutkan “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.  Dengan mengaju kepada makna final, maka sejak putusan MK dibacakan maka langsung mempunyai kekuatan hukum yang Tetap. Sehingga tidak ada upaya apapun lagi.  Sehingga sifat final dalam putusan MK juga harus dibaca sebagai hukum yang mengikat. Baik terhadap para pihak yang berperkara di MK maupun secara konstitusi berlaku untuk Seluruh Rakyat Indonesia.  Bicara soal sifat final dan mengikat ( final and binding ) dalam suatu putusan, ma

Nebis in Idem dalam hukum Acara Perdata

Asas ne bis in idem terdapat didalam Hukum di Indonesia. Begitu juga dilapangan hukum acara Perdata.  Disisi lain, berbagai putusan MA telah mengatur tentang asas ne bis in idem. Pada dasarnya asas hukum ne bis in idem adalah bahwa baik para pihak yang berperkara (subject) maupun barang yang disengketakan (object) dalam gugatan perdata tersebut adalah sama (Putusan MA No.1456 K/Sip/1967). Ini juga ditegaskan didalam Putusan Mahkamah Agung No.1121 K/Sip/1973, Putusan MA No.1149 K/Sip/1982. Putusan MA No.1226 K/Pdt/2001.  Bahkan didalam Putusan MA No.547 K/Sip/1973, asas ne bis in idem, tidak hanya ditentukan oleh kesamaan para pihaknya saja, melainkan juga adanya kesamaan dalam “objek sengketa” nya.  Selain itu meskipun uraian perkara tidak sama dengan gugatan sebelumnya namun adanya kesamaan subyek dan obyek serta status hukum Tanah yang telah diputuskan oleh putusan hakim sebelumnya yang Sudah memiliki kekuatan hukum Tetap (inkracht) dengan demikian maka perkara yang Sedang diperik

Sifat Putusan (2)

Gambar
Setelah sebelumnya didalam praktek Peradilan, dikenal sifat putusan deklarator, putusan konstitutif dan putusan kondemnator maka sedikit berbeda didalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).  Didalam Putusan MK, dikenal deklaratoir constitutif. Putusan deklaratoir constitutif adalah menerangkan atau menyatakan apa yang menjadi sah. Sedangkan Makna constitutif dimakna sebagai meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.  Apabila ditelaah, maka makna putusan “deklaratoir” mirip dengan putusan pengadilan deklarator. Sedangkan constitutif sedikit mirip dengan putusan konstitutif.  Sehingga didalam putusan MK kemudian tidak mengenal comdemnatoir. Atau perintah penghukuman kepada para pihak.  Dalam praktek di MK, putusan MK dapat ditandai dengan putusan “declaratoir” seperti Putusan MK No. 35/2012. MK kemudian menyatakan “hutan adat” bukanlah hutan negara. Sehingga proses terhadap penetapan hutan adat Tetap merujuk kepada ketentuan pasal 67 UU Kehutanan.  Atau dengan kata lain, pu