Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2021

Jual beli (2)

Setelah sebelumnya dijelaskan tentang benda tidak bergerak yang diatur didalam KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW), maka terhadap benda tidak bergerak akan mengakibatkan konsekwensi hukum dan akibatnya. termasuk proses peralihan haknya.  Salah Satu peralihan hak terhadap Obyek benda tidak bergerak adalah jual beli.  Didalam Pasal 1457 BW, jual beli adalah pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas barang tidak bergerak. Sedangkan pihak lain (pihak pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang.  Perjanjian jual beli obyek benda tidak bergerak yang dimulai dengan uang panjar belumlah ada jual beli (Putusan Mahkamah Agung No. 86 K/Sip/1972).  Perjanjian jual beli yang beritikad baik harus mendapatkan perlindungan hukum (Putusan Mahkamah Agung No. 1237 K/Sip/1973,  Putusan Mahkamah Agung No. 1230 K/Sip/1980 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1267 K/Pid/2012) Pasal 1338 ayat (3) BW, yang mengatur  “Persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus d

Daluarsa Hak atas Tanah 

Dalam pendekatan sosiologi, kekerabatan masyarakat Melayu Jambi berangkat dari pendekatan Teritorial. Kekerabatan yang dibangun dalam suatu wilayah. Seloko seperti “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan masyarakat (semendo). Sebelumnya sang pendatang harus mencari “induk semang” sebagai tempat tinggal dan kekerabatan sehingga kedatangannya tidak meresahkan. Prosesi setelah “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan prosesi mendatangi pemimpin adat dan “meminta izin” kepada pemangku adat. Setelah melalui proses “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung”, maka sang induk semang kemudian memanggil orang sekampung untuk mengabarkan “anak kemenakan” yang datang dan hendak hidup di kampong. Setelah mengalami prosesi waktu yang ditentukan (biasanya 6 bulan hingga 12 bulan), orang kampong mengetahui “anak kemenakan” sudah pantas “begawe”, maka “induk semang” kemudian mengundang “nasi putih. Air jernih”. Prose

Tanah dan Surat 

Tema tanah dan surat tanah menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Membicarakan tanah dan surat tanah adalah dimensi terpisah. Didalam 19 ayat (2) UU Pokok-pokok Agraria (UUPA) “pendaftaran tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak. Ketentuan ini kemudian diperkuat didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Menggunakan penafsiran “Penafsiran terbalik (a contrario)” maka terhadap “seseorang” yang tidak mempunyai surat-surat maka tidak mempunyai hak terhadap tanah. Sesat pikir ini melambangkan asas “domein verklaring”. Negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond). Didalam “agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan a

Inlander

Jejak Inlander dapat dilihat didalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS). Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) kemudian diteruskan didalam Pasal 163 IS yang membagi penduduk di Hindia Belanda menjadi tiga Golongan penduduk, yaitu : Penduduk golongan Eropa, Penduduk golongan Timur Asing dan penduduk Golongan pribumi (Bumi Putera). Dalam ayat (2) pasal 131 IS disebut perkataan “Europeanen”  dan “Indonesiers en Vreemde Oosterlingen. Indische Staatsregeling memuat peraturan umum sebagai pengganti Reglement Regering. Berlaku sejak tanggal 23 Juli 1925 berdasarkan Stbld. 1925 No. 415. Pasal.131 IS ini berasal dari ps.75 RR. IS sendiri terdiri dan 187 pasal yang disahkan dan diundangkan dalam Staatsblad 1925 No 415 dan No 416 dan mulai diberlakukan berdasarkan Staatsblad 1925 No 577. Sedangkan RR (Reglement op het beleid der Regenng van Nederlands Indie) yang lama diberlakukan dengan Staatsblad 1855 dan diubah berdasarkan  Staatsblad 1919 No. 621. Dengan demikian maka  tiap-tiap gol

Hapusnya Tanah

Berbeda dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”. Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”,  “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”,  Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari Atau  Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus. Terhadap tanah yang telah ditentukan maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap  tanah (ontginn

Jual beli (1)

Didalam Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek/BW) dikenal pengaturan tentang jual beli. Diatur didalam Buku ke III Bab V BW. Dimulai didalam pasal 1457 BW. Pasal 1457 BW mengatur ketentuan umum. Makna jual beli adalah Jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.  Jual beli dapat dilakukan terhadap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik (Pasal 499 BW). Termasuk segala hasilnya, hasil alam, hasil usaha kerajinan (Pasal 500 BW).  Menurut Pasal 502 BW, hasil alam dapat berupa hasil dari Tanah, termasuk binatang, buah-buahan.  Namun terhadap benda harus ditegaskan dan dipisahkan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak.  Pasal 506 BW kemudian menegaskan yang termasuk kedalam benda tidak bergerak seperti tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya, pohon dan tanaman ladang, buah pohon yang belum dipetik.  Juga termasuk hasil tambang

Usia Perkawinan 

Dalam sebuah berita dikabarkan seorang “petinggi” negeri dengan bangga menceritakan “proses” perkawinan keduanya dengan WNA. Berita itu cukup menarik perhatian karena akan menimbulkan berbagai persepsi. Dalam pendekatan agama, tentu saja banyak pihak yang “setuju” dengan alasan beristri lebih dari satu tidak dilarang oleh agama. Tentu saja tidak melupakan berbagai ayat-ayat untuk mendukungnya. Saya tidak akan “mempersoalkan” karena akan selalu menimbulkan polemik. Walaupun pendekatan ini sering digunakan namun, polemik itu tidak pernah berkesudahan. Baik yang setuju dengan Pria beristri lebih dari satu maupun yang menolak. Kedua pihak menggunakan berbagai pendekatan agama sehingga bisa dipastikan, kedua kelompok itu mempunya alasan dan argumentasi yang kuat. Namun tentu saja selain pendekatan agama, pendekatan hukum juga harus dijadikan patokan. Didalam UU Perkawinan, Pasal 3 (1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita

Disparitas (2)

Dalam suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan untuk menerapkan peraturan yang berbeda. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan disparitas (disparity of sentencing). Perbedaan penerapan peraturan yang berbeda akan menciptakan diskriminasi hukum. Dan itu bertentangan dengan semangat “negara hukum (rechtstsaat). Makna yang tegas dicantumkan didalam konstitusi.  Selain itu konstitusi juga dengan tegas mencantumkan asas “Persamaan dimuka hukum”. Asas yang tegas dicantumkan didalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.  Makna perbedaan menerapkan peraturan yang berbeda dapat dilihat didalam suatu peraturan yang berbeda-beda Publik akan kesulitan memahami tindak pidana yang terjadi. Apakah tindak pidana tertentu, masuk kedalam hukum administrasi negara ataupun peraturan lainnya. Disparitas tidak memasuki wilayah penilaian hakim terhadap jenis pidana (st

Obyektifitas Hakim 

Ungkapan klasik yang digunakan untuk meyakinkan hakim harus obyektif, netral, tidak memihak (imparsial) adalah “the rule of law, not met”, “law is reason, not passion”, “judge are mere mouthpiece of the law”. John Marshal menegaskan “court are mere instruments of law, and can will nothing”. Montesqueiu didalam bukunya “L’Esprit des Lois telah menegaskan. Para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan kata-kata dari undang-undang. Maka fungsi hakim adalah corong UU (la bouche de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like loudspeaker of the law/subsumptie automaat), hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya (Das sollen) namun hanya menerapkan hukum yang berlaku (ius constitutum). Hukum adalah yang tertulis (law as it is written in the book), yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa mempersoalkan keadilan. Semuanya berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias Politica” dalam ajaran “separation of power” yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan jud

Delik aduan

Gambar
Dalam praktek hukum pidana, dikenal istilah delik biasa dan delik aduan.  Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, “Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan “ delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.” Sedangkan  Mr. Drs. E Utrecht menjelaskan, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Didalam KUHP, delik aduan dapat dilihat dari pasal 284, pasal 287, pasal 293, pasal 310 dan berikutnya, pasal 332, pasal 322, dan pasal 369, Pasal 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Namun menurut  R. Soesilo justru menjelaskan delik aduan yang bersifat absolut dan bersifat relatif.  Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat d

Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan (2)

Beberapa waktu yang lalu, ketika pandemik corona menimpa Indonesia, dunia hukum juga mengalami revolusi.  Persidangan yang semula dilakukan secara biasa dan konvensional mengalami perubahan. Mahkamah Agung (MA) menerbitkan aturan terkait administrasi. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020. Dunia hukum kemudian mengalami revolusi total. Persidangan yang semula dilakukan secara biasa dan konvensional mengalami perubahan. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 kemudian membuka ruang untuk dilakukan persidangan secara daring dan online.  Tema persidangan secara daring dan online mengingatkan tulisan “Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan”,  tanggal 5 Juli 2002.  Sehingga tidak salah kemudian, mengingatkan tema Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan”,  tanggal 5 Juli 2002 maka pada kali, judul diberikan “Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan (2)” Tema “Teleconference” belum begitu familiar

Ne bis In Idem

Gambar
Ne bis in idem adalah larangan memeriksa perkara hingga 2 kali. Ne bis in idem menyebutkan, Pengertian asas ne bis in idem adalah terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.  Asas ne bis in idem terdapat didalam Hukum di Indonesia.  Dilapangan hukum pidana, asas ne bis in idem dapat dilihat didalam pasal 76 ayat (1) KUHP. “seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.  Sehingga terhadap perkara yang kemudian putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) maka tidak dapat diperiksa kembali (Pasal 75 ayat (2) KUHP).  Didalam Hukum Perdata, asas ne bis in idem dapat dilihat didalam pasal 1917 KUHPer. “Apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem”.  Menurut M. Yahya Harahap, terhadap perkara ya

Hapusnya hak tanah

Didalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan “hak-hak atas tanah” terdiri dari hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain.  Sedangkan pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sedangkan 20 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 menjelaskan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dengan menempatkan hak milik sebagai “hak terkuat dan terpenuh” sebagaimana diatur didalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 maka hak milik harus ditempatkan sebagai hak yang harus dihormati.  Namun kepemilikan terhadap tanah tidak bersifat mutlak. Dalam praktek peradilan hukum acara Perdata, dikenal berbagai putusan yang menghapuskan kepemilikan tanah.  Sekedar contoh dapat dilihat Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622 K/Pdt/2012 dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 97

Menulis

Ketika menulis untuk media massa dan kemudian dipublish di blog, secara tidak sengaja, saya menemukan berbagai tulisan kemudian dijadikan sumber bacaaan, rujukan dan Sumber pustaka.  Alangkah kagetnya saya ketika berbagai opini yang tercecer kemudian dijadikan karya tulis. Entah bahan disertasi, tesis, skripsi dan karya ilmiah lainnya.  Tema “Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari” dijadikan Rujukan oleh Dian Mursyidah didalam Disertasinya yang berjudul “ PERGESERAN FUNGSI SELOKO PADA MASYARAKAT MELAYU JAMBI (Telaah Historis Sosiologis di Kota Jambi).  Untuk bahan Tesis, tema “Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, yang diajukan oleh Ari Dody Wijaya, dituliskan “Kebijakan formulasi pengembalian kerugian Keuangan negara pada perkara tindak pidana Korupsi”.  Tema ini juga dijadikan rujukan oleh Immanuel Simanjutak didalam tesis, “Pengembalian kerugian keuangan negara pada saat proses penyidikan dan kaitannya pelaksanaan putusan hakim”.  Tema  Pemilukada – Anali

Hapusnya Tanah

Didalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan “hak-hak atas tanah” terdiri dari hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain.  Sedangkan pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sedangkan 20 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 menjelaskan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dengan menempatkan hak milik sebagai “hak terkuat dan terpenuh” sebagaimana diatur didalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 maka hak milik harus ditempatkan sebagai hak yang harus dihormati.  Namun kepemilikan terhadap tanah tidak bersifat mutlak. Dalam praktek peradilan hukum acara Perdata, dikenal berbagai putusan yang menghapuskan kepemilikan tanah.  Sekedar contoh dapat dilihat Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622 K/Pdt/2012 dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 97

Restoaktive Justice

Dalam tataran praktek, seseorang yang dinyatakan bersalah, maka yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan secara hukum. Tidak boleh dan tidak ada kecualinya. Karena apabila kejadian itu terjadi, maka terjadi diskriminasi hukum adanya tidak ada persamaan dimuka hukum ( equality before the law ). Dan itu bertentangan dengan prinsip negara hukum ( rechtstaat ). Namun, hukum pidana juga mengalami perkembangan yang sangat cepat. Apabila sebelumnya model pemidanaan dengan cara ”balas dendam” sebagaimana sering dinyatakan ”  an eye for an   eye”,  maka model pemidanaan kemudian bergeser menjadi pembinaan. Selain tercapainya kepastian hukum, juga memberikan keadilan kepada para pelaku sehingga selain dia menyadari kesalahannya, bertanggungjawab terhadap perbuatannya, juga harus menjalani kesalahannya. Terhadap pelaku tidak mesti menjalani pidana yang berat, selain dapat dijatuhi pidana percobaan, pelaku juga dapat menempuh upaya perdamaian dengan korban. Selain itu juga diberikan kesem

Negara Hukum

Gambar
Posting dengan tema “Negara hukum” adalah posting paling populer sejak diposting 25 Juli 2012. Mendapatkan 49.270 pembaca. Rata dibaca setiap hari 15-20 pembaca. Namun april 2021 pernah mencapai 34 pembaca setiap hari. Selain itu rata-rata dikunjungi 99 pembaca setiap minggu, 450 pembaca setiap minggu. Bahkan mencapai 10 ribu pembaca setiap tahun. Pada tahun 2017 dengan 11 ribu pembaca. Pada puncaknya tahun2020 mencapai 20 ribu pembaca. from istilahhukum https://ift.tt/2QlvAMv

Hukum Tanah (4)

Beberapa waktu yang lalu, perdebatan tentang pengaturan hukum tanah berhimpitan dengan UU Kehutanan memantik diskusi panjang.  Secara tegas limitatif, maka pengaturan tentang berkaitan dengan tanah diatur didalam UU No. 5 Tahun 1960. Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “hak-hak atas tanah” terdiri dari hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain.  Sedangkan pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sedangkan 20 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 menjelaskan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dengan menempatkan hak milik sebagai “hak terkuat dan terpenuh” sebagaimana diatur didalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 maka hak milik harus ditempatkan sebagai hak yang harus dihormati.  Bambang Eko Supriyadi didalam bukunya “Hukum Agraria Kehutanan” menyebutkan “Hak mi

BAHASA BELANDA DALAM HUKUM INDONESIA

Apabila kita melihat sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda hampir 350 tahun lamanya, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana  (wetboek van strafrecht voor Indonesia ), Hukum Perdata ( burgelijk wetboek ), Hukum Dagang  (wetboek van kophandel) , Hukum Acara Perdata ( reglement op de rechsvordering ) maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) di

ASAS KEPASTIAN HUKUM

Sebagai jajahan Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana  (wetboek van strafrecht voor Indonesia ), Hukum Perdata ( burgelijk wetboek ), Hukum Dagang (wetboek van kophandel) , Hukum Acara Perdata ( reglement op de rechsvordering ), Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.   Dengan meninggalkan berbagai peraturan yang ditinggalkan Belanda, mempunyai konsekwensi hukum, segala segi dan berbagai peraturan harus berdimensi terhadap istilah hukum yang berakar dari Belanda. Sebagai contoh, recht merupakan istilah hukum yang mempunyai konsekwensi, recht yang dapat dijadikan hukum adalah hukum yang tertulis. Walaupun Indonesia mengakui adanya hukum yang hidup di Indonesia yaitu hukum adat (adat recht) namun yang dapat dijadikan pedoman, aturan dan tingkah laku yang mempunyai sanksi adalah hukum yang tertulis (Recht).   Sebagaimana prinsip dalam lapangan ilmu hu

BERLAKUNYA KUHP

Dalam sebuah tayangan talkshow di televisi, disebutkan, Indonesia ” sebenarnya ” tidak pernah menetapkan KUHP sebagai produk hukum untuk diterapkan dalam kejahatan umum konvensional. Padahal apabila kita lihat baik-baik, Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Dalam UU No. 1 Tahun 1946 pemerintah menetapkan bahwa untuk hukum pidana diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yang juga berarti bahwa untuk hukum Pidana berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie yang belum diubah oleh tentara Pendudukan Jepang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 merupakan perubahan dan tambahan dari Wetboek Van strafrecht diterjemahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-undang  Nomor 1 Tahun 1946 memberikan kekuatan untuk menyesuaikan materi KUHP yaitu ketentuan yang termuat dala

HUKUMAN MATI

Wacana hukuman mati tetap hangat dibicarakan.  Pidana mati adalah merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan sanksi pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia Pidana mati merupakan salah satu bentuk pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pidana mati itu sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman. Namun sampai saat sekarang ini belum diketemukan alternatif lain sebagai penggantinya.   Lebih dari separuh negara di dunia melarang hukuman mati. Hanya satu negara di Eropa, yaitu Belarus, yang masih mempertahankan hukuman mati. 80% (Delapan puluh persen) dari seluruh hukuman mati yang dilaksanakan di dunia sejak tahun 1976 terjadi di Cina, Iran, Pakistan, Kongo, Arab Saudi, Iran dan Amerika Serikat. Tahun 2004, Amerika Serikat mengeksekusi 59 orang dewasa. Hampir 3.500 orang menunggu pelaksanaan hukuman mati di berbagai penjara di Amerika Serikat ( data dari berbagai sumber )   Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara, menyebutkan Hingga Juni 2006 hanya 68 ne

test

 test