Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2021

Hukum Islam 

Tidak dapat dipungkiri, wacana hukum Islam sudah menjadi pengetahuan hukum dalam praktek peradilan.  Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Agama diatur didalam UU No. 7 Tahun 1989. Dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 maka Pengadilan Agama kemudian mencabut Pengadilan Agama diluar Jawa – Madura yang diatur didalam PP No. 45 Tahun 1957.  Didalam UU No. 7 Tahun 1989 disebutkan Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau di Ibukota Kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Provinsi.  Pengadilan Agama kemudia memeriksa perkara yang berkaitan seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Perkawinan meliputi seperti Cerak talak/gugat cerai.  Sehingga terhadap perselisihan hukum yang berkaitan dengan cerak talak/gugat cerai, waris, wasiat, hibah dan wakaf dapat diselesaikan di Pe

Waktu (3)

Selain waktu di Hukum Acara Pidana, waktu juga dikenal di Lapangan hukum acara Perdata.  Apabila putusan yang tergugat sama sekali tidak Hadir yang kemudian dikenal sebagai verstek maka pihak yang keberatan dapat mengajukannya dalam waktu 14 hari (Pasal 129 HIR).  Perlawanan verstek dikenal verzet Didalam pasal 129 ayat (1) HIR disebutkan apabila verzet dilakukan setelah putusan verstek telah keluar. Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan verstek tidak boleh lewat waktu 14 hari. Termasuk hari libur.  Begitu juga terhadap upaya hukum putusan hakim. Baik banding dan kasasi mempunyai waktu 14 hari. Sejak putusan dibacakan. Termasuk hari libur.  Sedikit berbeda dengan peninjauan kembali (PK). Menurut pasal 69 UU No. 14/1985, tenggat waktu pengajuan PK adalah 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum Tetap.  Begitu pentingnya waktu pengajuan keberatan baik verzet, banding, kasasi dan pengajuan kembali maka apabila lewat waktu yang sudah ditentukan, maka Pengadilan negeri dapat meno

Menguji Putusan di PTUN

Salah satu kemajuan dibidang hukum adalah lahirnya Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.  Dengan demikianlah lengkaplah empat pilar peradilan di Indonesia. Seperti Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).  Didalam UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian diperbarui dengan UU No. 51 Tahun 2009, disebutkan Keputusan Tata usaha negara yang dapat diajukan keberatan ke PTUN mengandung unsur seperti penetapan tertulis, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, tindakan hukum tata usaha negara, peraturan perundang-undangan yang berlaku, konkret, individual, final, dan mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Disebabkan bersifat kumulatif, maka apabila salah satu unsur saja tidak terpenuhi maka para pihak tidak dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Sehingga perkara kemudian dinyatakan tidak dapat diterima.  Sedangkan berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 T

Praperadilan (3)

Melanjutkan tema mengenai praperadilan yang dengan tegas menyebutkan kata “pra” maka proses yang dinilai berkaitan Sebelum masuk pokok perkara. Ataupun proses hukum acara terhadap para pelaku.  Namun dalam perkembangan, Hakim tidak semata-mata hanya menilai proses hukum acara yang diberlakukan terhadap para pelaku. Tapi hakim juga menilai sebelumnya ditetapkan tersangka ataupun terhadap barang bukti.  Para Ahli dan didalam berbagai putusan pengadilan sudah mengadopsinya.  Seperti berkaitan dengan barang bukti, walaupun tidak termasuk kedalam pasal 77 KUHAP yang mengatur tentang hal ikhwal berkaitan dengan materi praperadilan namun juga menilai barang bukti.  Ataupun penetapan tersangka sudah menjadi penilaian hakim dan masuk kedalam ranah praperadilan.  Perkembangan yang cukup menggembirakan sekaligus memenuhi dahaga dari masyarakat pencari keadilan.  Pertimbangan hakim yang kemudian memasukkan mengenai barang bukti dan penetapan tersangka yang semula tidak termasuk kedalam pasal

Praperadilan (2)

Melanjutkan tema mengenai praperadilan, sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, praperadilan adalah proses untuk menilai yang berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.  Atau “ b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.  Dan  “permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ”.  Namun menilik dari makna harfiah dari kata “praperadilan” maka dapat dilihat dari makna “pra”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “pra” diartikan “sebelum”. Dapat juga diartikan “dimuka”.  Kata “pra” sering ditemukan dalam padanan seperti “prasejarah” dari kata sejarah. Dalam literatur, kata “prasejarah” dapat diartikan sebagai periode sebelum dikenalnya tulisan. Sejarah kemudian mencatat, tulisan