Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2021

Kurang Pihak

Walaupun Hak Penggugat untuk menentukan siapa yang harus digugat sebagaimana didalam Putusan MA No.  305 K/Sip/1971 namun didalam berbagai putusan Pengadilan ataupun didalam Putusan Mahkamah Agung, seringkali disebutkan gugatan kurang pihak.  Didalam berbagai yurisprudensi sering yang disebutkan sebagai kurang pihak adalah pihak-pihak yang harusnya ditarik sebagai tergugat namun didalam gugatannya kemudian tidak dilibatkan dalam perkaranya.  Sebagaimana didalam Putusan MA No. 437 K/Sip/1973, tanggal 9 Desember 1975 disebutkan “Karena tanah-tanah sengketa sesungguhnya tidak hanya dikuasai oleh Tergugat I sendiri tetapi bersama-sama dengan saudara kandungnya, seharusnya gugatan ditujukan terhadap Tergugat I bersaudara bukan hanya terhadap Tergugat I sendiri, sehingga oleh karena itu gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.  Atau dapat juga dilihat didalam Putusan MA No. 503 K/Sip/1974, tanggal 12 April 1977 yang menyebutkan “Karena yang berhak atas tanah sengketa adalah ketiga o

Turut Tergugat

Gambar
Didalam gugatan Perdata, seringkali ditemukan istilah “turut tergugat”.  Walaupun menurut hukum acara Perdata dan berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung, hak para penggugat untuk menarik para pihak didalam perkara di Lapangan hukum acara Perdata, namun apabila tidak tepat menarik para pihak didalam perkara maka mengakibatkan secara hukum. Didalam uraian perkara (posita), para penggugat harus menguraikan hubungan hukum antara para penggugat dengan “turut tergugat”. Ataupun hubungan hukum antara para tergugat dengan “turut tergugat”.  Menurut Putusan MA No. 98/1952 disebutkan “bahwa dalam gugatan pihak penjual tanah tambak tidak ditarik sebagai “Turut Tergugat”.  Begitu juga Putusan MA No. Mahkamah Agung No.45 K/Sip/1954 menerangkan “Gugatan A terhadap B agar jual beli antara B dan C dibatalkan tidak dapat diterima, karena C tidak ikut digugat”.  Lihat juga Putusan MA No.439 K/Sip/1960, yang menyebutkan “Gugatan terhadap pihak ketiga yang menguasai harta warisan untuk dikembalikan k

Hukum Islam (5)

Selain telah diterapkan Pengadilan agama didalam lingkup peradilan di Indonesia, berbagai regulasi juga telah mengatur tentang tatacara, mekanisme hukum Islam didalam hukum Nasional.  Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, maka pengelolaan perbankan menggunakan hukum Islam telah menjadi hukum nasional.  Berbagai istilah yang dikenal didalam hukum Islam seperti bank Syariah, prinsip Syariah, akad, akad wadi’ah, Akad mudharabah, transaksi sewa-menyewa (ijarah), sewa beli (ijarah muntahiya bittamlik), transaksi jual beli (murabahah, salam, dan istishna), transaksi pinjam meminjam (qardh) atau transaksi sewa-menyewa jasa (multijasa) kemudian dijelaskan didalam UU No. 21 Tahun 2008.  Didalam UU No. 21 Tahun 2008 telah dijelaskan yang dimaksudkan dengan Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.  Prinsip Syariah adalah

Hukum Islam (4)

Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, dimana salah satu kewenangan untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan perkara waris.  Nah. Dengan demikian maka penghitungan waris kemudian merujuk kepada aturan yang telah diatur didalam hukum Islam.  Materi mengenai warisan didalam Hukum islam telah diajarkan didalam kurikulum hukum islam. Baik diajarkan di Fakultas Hukum maupun sekolah tinggi hukum.  Sebagai contoh, didalam sistem pembagian waris didalam hukum islam dikenal pembagian antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tentu saja perbandingannya anak lelaki mendapatkan 2 bagian dari anak perempuan.  Mekanisme ini juga sering dikenal didalam hukum adat. Seperti di Jawa dikenal dengan istilah “sepikul-segendongan”. Atau juga dikenal anak lelaki mendapatkan dua bagian. Sedangkan untuk anak perempuan dikenal satu bagian.  Dengan demikian maka mengenai kewarisan terhadap warganegara yang pemeluknya beragama islam maka harus diselesaikan di Penga

Hukum Islam (3)

Selain telah ditetapkan Pengadilan agama sebagai Pengadilan didalam penyelesaian kasus-kasus dibidang agama Islam dan ditujukan khusus warganegara Indonesia yang beragama Islam, hukum Islam juga banyak telah diatur didalam peraturan perundang-undangan.  Selain mengenai haji, wakaf, sertifikat halal akhir-akhirnya juga berkembang bank Syariah. Bank-bank nasional baik bank umum maupun bank swasta juga telah membuat bank Syariah.  Sebagai bank yang diharapkan dapat melakukan transaksi oleh penduduk yang ingin menggunakan bank Syariah, bank Syariah juga melakukan segala kegiatan perbankan di Indonesia. Dan tentu saja kemudian menerapkan tatacara dan mekanisme yang diatur didalam hukum islam.  Keinginan besar untuk penduduk yang berasal dari agama Islam sebagai pangsa pasar menjanjikan kemudian membuat Bank syariah tumbuh subur di Indonesia.  Berkaitan dengan bank syariah selain melakukan kegiatan perbankan umum dengan menggunakan mekanisme dan tatacara berdasarkan hukum islam juga mela